Epic Java: Maha Epic, Maha Pecah!

Saturday, October 05, 2013


Screening Epic Java
Sebagai abege penggila film kebanyakan, screening film dikala weekend benar-benar sesuatu yang membuat gw senang. Gw adalah tipe-tipe orang yang lebih senang menonton film independent, festival, dan film-film dengan genre 'nyeleneh' dan gaya penyutradaraan yang tidak umum. Alasannya simpel, gw cukup fed up dengan film-film Hollywood yang bertebaran di PirateBay, dan gw suka dengan konsep-konsep out of box yang dihadirkan oleh para sineasnya. Jadilah waktu luang tsb gw pakai untuk mengunjungi Reading Room, Salihara, Europe On Screen, dan berbagai tempat pemutaran film/galeri seni lainnya.

Suatu hari, teman gw, Cesa, mengajak gw untuk menghadiri screening film Epic Java. Bersama teman gw yang lain, Dea dan Anggit. Namun belakangan Anggit berhalangan hadir karena sesuatu yang mendesak. Sejujurnya, gak banyak yang gw tahu perihal film Epic Java ini. Cesa hanya memberikan gambaran singkat, dan yang gw tangkap adalah, film ini adalah film bertemakan travelling karena dia sempat menyinggung tentang web series Jalan Jalan Men, yang sering gw tonton juga. Satu lagi, alasan pendukung terkuat kenapa dia kepingin banget nonton adalah karena MC-nya Petra 'Jebraw'. Kalau kalian adalah internet freak, pasti tahu lah siapa Jebraw ini. Doi adalah makhluk hidup maha asyik, didampingi oleh pacarnya, Naya Anindita, dari first impression yang gw dapat sih super friendly dan easy going. Singkatnya, kita semua pengen ketemu dan ngobrol-ngobrol singkat sama mereka.

Screening diadakan di Blitz Megaplex, Grand Indonesia, jam 20:00 WIB. Tapi gw agak telat karena pusing cari parkir, dan akhirnya gw baru bisa ketemuan dengan Dea dan Cesa beberapa menit setelah gate dibuka. Pas ketemu dan dikasih tiketnya, gw senang banget. Karena bentuk tiketnya cukup artistik untuk sebuah acara screening.


Lalu, setelah ambil snack yang dikasih gratis dari panitia, kita pun masuk. Disana penonton sudah mulai memadati kursi. Sebetulnya, acara screening ini seat nya limited alias terbatas. Siapa cepat, siapa dapat. Maka dari itu tiket Anggit yang kepalang nganggur langsung laku dibeli orang. Yang gw tau juga sih, kuota penonton ditambah karena banyaknya permintaan. Ekspektasi gw melambung tinggi karena minat audiens yang tinggi.

Proses Pembuatan & Film Influence
Setelah trailer Anna Ballerina (film besutan Kak Naya) diputar, langsung diputar perjalanan crew film Epic Java ini yang menurut gw cukup menarik. Proses pembuatannya memakan waktu setahun, dengan biaya yang sangat minim dan urusan teknis yang bisa dibilang sangat sederhana. Untuk scoring musik, mereka menggunakan laptop dan MIDI. Selain itu, mereka juga masih menggunakan slidertrack manual, bukan motorized slidertrack. Sang sutradara yang juga merangkap sebagai cameraman, Febian, juga mengakui kalau mereka harus menggeser slidertrack tsb dengan skala ukuran yang sama setiap enam detik sekali untuk menciptakan gambar timelapse yang halus. Ah, the things you do for the things you like. Sekedar info, kamera yang digunakan juga bukan kamera sekaliber Black Magic atau bahkan Red, mereka menggunakan kamera DSLR Canon 5D. Dari behind the scene itulah gw tau, kalau konten film ini berpusat pada gambar-gambar time lapse dan stop motion. Mereka juga mengaku mendapat inspirasi yang besar dari Samsara. Sebelumnya, Samsara bukanlah nama yang asing, dalam bahasa Buddha nama tersebut berarti: repeated reincarnation. Dan buat kalian yang belum tahu, film itu menceritakan tentang kehidupan dari lahir, hidup, mati, kemudian dilahirkan kembali, dan genre-nya non naratif alias tanpa dialog sedikitpun. Hanya berupa kumpulan time lapse, stop motion video, and some epic pictures yang dikumpulkan selama lima tahun, mencakup dua puluh lima negara. Sedangkan Epic Java sendiri melibatkan 40 tempat  berbeda di Pulau Jawa dalam kurun waktu setahun. Samsara dibuat dengan budget yang fantastis, lalu bagaimanakah dengan nasib Epic Java yang jauh lebih 'sederhana' dibandingkan film tersebut?

Epic Java, Sebuah Perjalanan
Epic Java, adalah sebuah film yang menceritakan tentang terbentuknya Pulau Jawa. Di awal, mata kita akan dimanjakan dengan tulisan-tulisan puitis tentang Dewa, Dewi, dan sebagainya. Jujur aja, gw enjoy banget bacanya. Karena walaupun film ini non naratif, rasanya dengan sisipan tulisan, penonton akan lebih 'ngeh' kemana film ini akan dibawa. Kemudian muncullah, kumpulan video letupan-letupan dan kabut dari gunung, scoring music pun masuk dan menambah tense di film tersebut. Tiap segmen dari film ini berarti proses, tense yang dibangun lewat scoring musik yang sangat megah dan enak dikuping serta nyambung sama segmen, membuat batin gw seperti dimanjakan oleh alam. Ada suatu segmen yang menarik, dimana saat mereka sedang merekam sebuah (tebing, idk?) ada seekor burung hitam yang melintas, kemudian binatang itupun pergi dan untuk beberapa saat kemudian, tidak muncul di frame. Saya sempat bingung, apa yang mau ditampilkan sutradara dengan tidak men-cut bagian ini? Namun tiba-tiba saya terhenyak, karena burung tersebut kembali lagi, namun kali ini ia tidak sendirian: seekor burung berwarna putih datang bersamanya. Kemudian muncullah sekelompok burung yang bermigrasi dan membentuk suatu formasi unik, berterbangan di semua bagian tebing tersebut. Ini betul-betul coincidence yang indah kalau menurut saya. You can rarely get a nice footage like this, especially in such unexpected places in nature.

Pulangnya, kami diberi goodie bag yang berisi t-shirt, beberapa sticker, kartu nama, teh kotak (dari sponsor) dan sebuah postcard unik. Kita juga sukses kenalan dan ngobrol dengan Naya & Jebraw!

Conclusion is: saya suka sekali dengan film ini. Kemarin ketika screening diadakan ada seorang pakar film documentary yang bilang, kalau dia menyayangkan kenapa film ini tidak menggunakan kamera yang setingkat diatasnya, karena nanti per frame bisa dikomersilkan alias dijual dengan harga tinggi, dan juga bisa bermanfaat untuk proses film selanjutnya. Yang paling saya suka, adalah komposisi gambar dan scoring music-nya. Scoring musicnya pecah banget! Betul-betul bisa membangun suasana. Ada ala-ala Hans Zimmer-nya disitu, dan yang pasti, keterbatasan teknis tidak menghalangi niat mereka untuk menyuguhkan pulau jawa selama kurang lebih 30 menit.




You Might Also Like

0 comments

SUBSCRIBE

Like us on Facebook