Project X: Elaine (Part I)

Wednesday, September 26, 2012

Juni - Lescott.Co

Aimee melangkahkan kakinya dengan napas memburu menuju bangsal penelitiannya. Baru saja ia mendapat pesan yang cukup menggemparkan dari departemen mekanisme perusahaan, mengabarkan bahwa project yang tengah ditanganinya selama tujuh tahun belakangan mendapat masalah.

"Seberapa parah?"

"Sebentar," sahut Alfred. "Saya check dulu, OK? Kamu jangan rusuh begitu."

Aimee terdiam, masih dengan kepanikannya yang sama, meninggalkan Alfred dan mengecek divisi-divisi lain yang terlibat dalam project mandiri-nya tersebut. Shit, rutuknya halus. Kenapa masalah harus datang ketika project yang setengah mati dibentuknya hampir rampung? Ia mencoba mengingat-ngingat siapa yang kira-kira tega berbuat 'jahil' kepadanya, namun sulit. Otaknya terlalu lelah untuk itu. Sementara itu crew-nya setengah mati mencari berbagai cara supaya mereka semua dapat keluar dari masalah ini.

"Finally, baby." Alfred berkata seraya memencet satu tuts terakhir di keyboard-nya. Aimee dan lima orang lainnya yang berada di dalam ruangan itu menghela napas. Super lega.

"...Huh. That was close. Sorry for acting strange, kerusakan terakhir cukup membuatku trauma." kata Aimee kepada para crew yang sedang bekerja. "Ya sudah. Bisa dilanjutkan kembali pekerjaannya."

Aimee turun dari podium kecil tempat ia biasa memberikan pengarahan, briefing, maupun pemberitahuan, sambil membasuh peluhnya.

"Here. Take it." Alfred memberikan selembar tisu dan sekaleng soft drink kepada Aimee sambil mengajaknya menuju pantry mini untuk makan siang. Masih terlihat jelas sisa-sisa kepanikan dalam raut wajah Aimee, meskipun tidak sekental sebelumnya. Bagusnya, ia sudah bisa duduk dengan tenang sekarang.

"Mi, apa kau sadar... Kalau kondisi Elaine jauh dari kata stabil?"

"Alfred, aku sadar kalau ambisiku menjalankan simulasi-nya di akhir tahun ini cukup muluk. Tapi kau tidak perlu mengatakan hal-hal yang membuatku pesimis begitu."

"No, please, don't get me wrong. Saya hanya khawatir... Bukankah lebih baik kita sempurnakan dulu bagian dalamnya, upgrade lagi sistem operasinya, lalu kemudian..."

"Alfred," Aimee mendekatkan wajahnya. "Kau dan yang lainnya tentu tahu, kalau ini adalah project yang sangat penting buatku. Aku sudah menunggu selama tujuh tahun lamanya, bayangkan! Aku sudah mengesampingkan semuanya dan berusaha sekuat tenaga untuk bekerja dan bersabar demi ini semua. Demi Elaine. You can't stop me now! Semuanya sudah matang dan sesuai rencana. Yang perlu saya lakukan tinggal..." Aimee memandang Alfred dengan tatapan mengerling. "...Memencet satu tombol, and boom."

Alfred hanya dapat berkata-kata dalam pikirannya yang sunyi. Ia tahu, wanita di depannya ini adalah seorang pribadi yang ambisius. Ia juga tahu betul, apapun yang akan ia katakan, hanya akan terdengar seperti desiran angin belaka ditelinga wanita ini. Maka dari itu, ia memilih diam.

"Sekali lagi, Alfred." Aimee bangkit dari kursinya dan bersiap-siap meninggalkan Alfred. "Yang saya butuhkan bukan "the perfect Elaine". Saya hanya butuh "Elaine", here and now, tanpa embel-embel apapun. Dan saya rasa, semua itu lebih dari cukup."

*****

Oktober - Jakarta

Jakarta. Basah. Hujan turun secara perdana, setelah sebelumnya membuat banyak pihak kesulitan akan kedatangannya yang lebih terlambat dari biasanya.

"Pasti basah abis deh tuh lapangan. Tetep tanding nih sama Dicky CS?" Seorang cowok berkacamata, berbadan tegap dan atletis, bertanya ke saudara kembarnya; yang penampilannya sangat bertolak belakang dengannya.

"Ya jadi lah, homo. Ujan doang gak bakal ngehalangin niatan suci gue buat bales kekalahan sama si kunyuk belang itu. Liatin aja." Kevin berdesis.

"You moron," desis Kelvin. "Gue cuma gak mau ya kalo sepulangnya kita tanding terus kalah lagi, elo ngebentak-bentak anak orang kayak tempo hari. Malu-maluin."

"Punya emosi itu wajar, Vin. Karena gua laki." sahut Kevin sambil mengikat tali sepatunya. "Yang gua sangsiin itu elu. Gua curiga, jangan-jangan kembaran gua yang sebenernya itu cewek, cuma terperangkap dalam tubuh elu yang hina itu."

"Gila! Gue cowok tulen, nih. Mau bukti?"

"Sori, lagi gak pengen muntah." Kevin memamerkan senyum dinginnya. Senyum yang mungkin dapat membuat cewek satu sekolahan bertekuk lutut kepadanya. "Yuk ah, cabut."

"Sebentar, sebentar."

"Ya elah, mau ngapain lagi sih?"

"Gue mau..." Kelvin menjawab dengan malu-malu. "Nyopot teru-teru bonzu."

*****

Kelvin benci hujan. Dan Kevin sangat tahu itu. Tapi saat ini, baginya harga dirinya-lah yang terpenting. Terngiang jelas dalam kepalanya ejekan Dicky dan antek-anteknya tempo hari, saat mereka berhasil memenangkan pertandingan. Ia ingat jelas mimik wajah Dicky, yang menurutnya lebih pantas menjadi pantat penggorengan daripada wajah manusia, karena tampak dekil dan menyeramkan. Kevin dan Dicky, musuh bebuyutan dari jaman SD sampai SMA. Bermula ketika mereka duduk di kelas empat SD, ketika Dicky kepincut dengan Clara, teman sekelasnya yang notabene teman sekelas Kevin juga. Ada satu hal yang cukup menarik dalam diri Kevin. Meskipun sembrono dan terkesan sesukanya, tidak ada yang dapat menampik bahwa ia mempunyai pesona yang luar biasa di mata kaum hawa. Sifat-sifat jeleknyalah yang akhirnya menjadi daya tarik tersendiri. Namun, ia tidak pernah menunjukkan adanya tanda-tanda ketertarikan dengan salah satu diantara mereka. Cewek itu semua sama, kecuali dulu, dulu sekali... Ah, sudahlah. Geramnya.

Dan di tengah beceknya air yang menggenang, sepasang kembar identik itupun berjalan beriringan.

*****

"Sudah disiapkan datanya?" Aimee melirik cemas ke arah monitor.

"Roger that. Ada di meja. Aku juga sudah bikin supply batre baru buat Elaine. Tinggal launch saja." Alfred memberi komando kepada segelintir anak buahnya, kemudian mereka mengangguk dan pergi.

"Kerja bagus. Kerja yang sangat bagus, Alfred."

Aimee kemudian membuka berkas file yang tergeletak diatas meja. Diambil dan dibacanya.

"Kevin Zachary Putra..." desisnya menahan rasa gembira yang luar biasa.

"Semua stay pada posisi, kita akan launch Elaine secara perdana pada hitungan ke 10." Aimee memberi aba-aba.

Alfred menghitung mundur.

"10... 9... 8... 7... 6..." 

"5... 4... 3..."

"2... 1..."

Lalu keluarlah sinar yang menyilaukan mata, dari tabung silindris kaca bangsal penelitian Lescott.Co. Dari dalamnya, keluar seorang remaja wanita, tanpa busana. Elaine.

"So this is the feeling when you're giving a birth to a baby..." Aimee tak dapat menahan air matanya.

"Yeah. Instead the fact that you're pregnant for like, seven years. Creepy stuff." tambah Alfred.

Dan disitulah mereka, ditemani tatapan penuh tanda tanya dari seorang Elaine.

Tapi ini belum seberapa, karena cerita yang sesungguhnya baru akan dimulai.

Tunggu part II nya ya.

You Might Also Like

2 comments

SUBSCRIBE

Like us on Facebook