Cerita Part 1

Sunday, December 11, 2011

Arman

Namanya Angel. Matanya indah, menusuk. Caranya berkelakar, berjalan, membuatku berpikir mungkin dialah bidadari yang selama ini kucari. Terlepas dari statusnya sebagai cewek berlabel 'for fun' yang kerap menjadi perbincangan. Namun cinta membuatku gelap mata, dan mungkin tuli juga. Karena semakin mereka membicarakannya, semakin pula aku terjerumus dalam cinta itu. Mungkin cinta semacam black hole, atau mungkin aku saja yang berjiwa masochist. Entahlah. Yang jelas, aku benci menjadi narapidana bagi cinta itu. Sementara keadaan di sekelilingku adalah sel dingin dengan udara yang menusuk, yang bahkan tak sudi sedikitpun untuk kuhirup.


Yeah, man. Whatever. Yang jelas aku selalu siap mendengarkan segala macam keluh kesahnya tentang berbagai macam pria yang sempat mampir dalam hidupnya tanpa dapat memadamkan api yang membakar hatiku barang sebentar saja, yang tidak pernah ia sadari pula. Insane?

Bukankah cinta memang begitu?

Angel

Life is like a box of chocolate. You never know what you gonna get.
Begitu kata Forrest Gump. Tapi gue rasa, gue perlu meralat beberapa hal disini. Buat gue, life is like a box of condoms. You always know what you gonna get, but you still pretend like you'll bear every responsibilities in it. You keep on going because of your own desire. So what's the fucking point of this, mate? Nothing.
Life is nothing but to suffer.
And I meant it. Ketika semua orang di sekeliling lo play their own masks, you can do nothing but do the same. Tapi lo bukan expert, lo orang yang terbiasa menunjukkan sisi diri elo yang sebenarnya, dan gak semua orang bisa nerima itu. Gue benci komitmen, sementara orang-orang di sekeliling gue anjing semua. Mereka ngomong seenak jidat mereka tentang betapa murahnya gue, betapa gobloknya laki-laki yang mau gue porotin duitnya, dan betapa heartless-nya gue saat mereka tunduk di bawah kaki gue tapi gak gue hirauin.

Sebodo amat lah! Persetan sama semuanya. Yang jelas, ditengah kebisingan kata-kata orang yang memekakkan telinga itu, masih ada seseorang yang mau mendengar keluh kesah gue dengan tulus. Arman. Tapi terkadang, satu lelaki saja tidak cukup, sel-sel dalam tubuh gue mengingkan lebih dan lebih. Dan gue gak cukup pintar untuk menyembunyikan hasrat gue yang naudzubillah itu.
I need a doctor... To bring me back to life.

Arman

"Kopi, Mas?" suara waitress memudarkan lamunanku. Ia lalu mendengarkan pesananku dengan hikmat dan berlalu. Sesaat, keadaan makin hening. Kutengok kaca bagian luar kafe yang mulai berembun akibat hujan musiman, lalu malaikat-ku datang.

"Eh, udah lama?" tanyanya sambil meletakkan tas dengan anggun. Aku bahkan sudah hapal wangi parfumnya.

"Enggak.... Dianter sama siapa tadi?"

"Biasa, Bintang. Udah resmi jadi kacung gue dia sekarang, hahaha."
Aku senang melihatnya tertawa lepas, walaupun joke yang ia lontarkan padaku saat ini tidak lucu. Aku hanya senang merasakan kedamaian dari suara lembutnya yang tidak pernah dibuat-buat...

"Gile, berat amat bacaan lo." Ia melihat The Economist terpampang jelas di sudut meja, mengambilnya, lalu melipatnya. "C'mon, sesekali hidup santai lah. Stress sendiri gue liat lo dan 'kuliah subuh' lo tiap hari... Cari cewek gih."

"Belom waktunya aja."

"Apa lo bilang? Belom waktunya? Haha! Ya gak usah diseriusin lah tolol. Maenin aja. Cari asiknya."

"Aku bukan kamu, Ngel."

Angel hanya nyengir lebar memamerkan gigi-giginya yang lucu, sementara aku membatu. Ia menyulut rokoknya dengan santai sambil memesan segelas moccachino.

Kawan tentu ingat, magnet hanya dapat saling tarik menarik saat kedua kutubnya saling berlawanan. Aku sang Utara, dan Angel sang Selatan. Kami berbeda dalam berbagai hal. Tapi aku merasa beruntung dengan perbedaan itu, karena sekarang Angel adalah Selatan-ku yang ku rengkuh. Tak sudi kulepas lagi.

Is it just me who feel it that way?

*****

Lanjutannya gue tulis besok. Ngantuk berat.

You Might Also Like

0 comments

SUBSCRIBE

Like us on Facebook