Hello, jumpa lagi kita.
*background music: detourn album*Ini adalah post yang agak spesial, mengingat gue jarang ngupdate blog lagi. Tapi minggu depan adalah minggu neraka, dan gue bersumpah, demi semua Tuhan dan Dewa di semua elemen universe, gue eneg sama sekolah. I hate this city. I hate the people. And most of all, I fucking hate Indonesia's education system. It's so fucking fucked up. I hate to deal with this fucking environment. And I hate to count how much F words I have shouted, I need to fucking shut up just now.
If you want to change a country, first, you have to change the people's fucking fucked up mindset. Indonesia adalah salah satu contoh negara yang suka menstereotipkan segala hal dengan mengatasnamakan hal-hal yang mengawang-awang dan sulit diperdebatkan. Sebagai catatan, gue disini gak merasa diri gue wise ataupun udah lebih baik dari poin-poin di bawah, gue cuma mau menceritakan keluh kesah aja kok. Gue yakin banyak dari kalian yang juga sepemikiran.
1. Gue frontalin aja nih, sebut saja 'agama'. Di Indonesia, segala sesuatu hal yang berhubungan dengan agama, kayak misalnya hukum, politik, sampe urusan gak penting kayak selebritas kacangan, semuanya melibatkan agama. Dikit-dikit agama. Dikit-dikit bawa-bawa nama Tuhan. Bahkan tololnya, ada seorang politikus yang bersumpah gak bakal korupsi; dan dia bersedia disumpah pocong untuk membuktikan kebersihannya kelak. Tanpa gue sebut merk, kalian juga pasti udah tau lah siapa. Menurut gue ini tolol bin ajaib, emang sih negara kita negara eksotik, but still, kalo orang luar nemuin fenomena ini, pasti diketawain. Gak ada kelegalan tertentu dari 'sumpah pocong'. GAK ADA. Kecuali kalo lo bersumpah gak akan korupsi, dengan catatan kalau suatu saat lo beneran jadi presiden dan lo terbukti melakukan tindak korupsi, lo bersedia dihukum gantung. Itu lebih bener kayaknya. Dan yang pasti, ada bentuknya. Daripada lo menawarkan diri menjadi permen candy-candy gak jelas yang suka ditakutin anak bocah. Tapi gak cukup sampai disitu, bahkan hak orang untuk memeluk agamanya masing-masing juga direnggut. Sebagai contoh perayaan Waisak di Borobudur yang baru-baru ini ramai dibicarakan. Ini adalah pengalaman nyata dari kaum Buddhisnya sendiri.
Di negeri ini, perayaan agama minoritas kerap dipandang sebelah mata. Bukannya dihormati pelaksanaannya, malah dijadikan atraksi wisata. Para penikmat ritual, entah wisatawan atau juru potret, menganggap sudah jamak memotret seenak udelnya, karena itu bagian dari atraksi wisata. Tak peduli saat itu digelar pujabakti, pembacaan sutra, atau meditasi.
Saya jadi membayangkan andai pada pelaksanaan shalat Ied, lalu ada kaki-kaki yang masuk di sela-sela shaft, demi menjepret sang Imam atau makmum, apa yang terjadi? Pastilah jamaah marah, memaki, malah bisa jadi si tukang foto diusir, ditangkap, atau dikurung. Itu sebabnya para fotografer shalat jauh sebelumnya sudah mengatur posisi agar tak mengganggu kekhusyukan shalat. Anehnya, hal ini tak terjadi pada Waisak Borobudur.
Para banthe yang khusuk berdoa, membaca sutra pun, jadi obyek eksotisme karya foto. Atau arak-arakan pawai harus tersendat karena berjubelnya penonton yang beringas seolah hendak memakan para banthe atau peserta ritual yang hendak memasuki kawasan candi. Mereka atraksi. Mereka menarik untuk dipotret. Tak ubahnya penari reog atau dance festival.
Harus diakui, kini prosesi Waisak di Borobudur memang menjelma menjadi tontonan, suguhan yang menghibur masyarakat sekitar. Nilai magis, kesucian ritual, telah berbaur dengan komersialisasi wisata. Mau tak mau, karena prosesi dilaksanakan di tempat wisata yang mendunia, Candi Borobudur.
Saya jadi berangan-angan, semacam utopis, andai di saat perayaan ritual agama seperti Waisak, Borobudur ditutup untuk umum dan semata digunakan untuk ritual agama bagi umat Buddha. Mungkinkah?
Sudah banyak hal tidak menyenangkan yang saya saksikan berkaitan dengan ritual Waisak ini. Tahun lalu saya ada di antara umat Buddhis yang berada di dalam vihara depan Candi Mendut. Belum tengah malam saat itu. Banyak awam diijinkan masuk awalnya. Bukannya sekedar melihat-lihat, mereka dengan usilnya bermain dengan segala benda yang mereka anggap aneh. “Apa ini? Hahaha.. Wah, ini sih patung nggak jelas, Huhuhu..” Mereka memainkan semacam kentongan, menertawakan orang yang sembahyang sambil menundukkan kepala dan menyilangkan tangan, dan sebagainya. Seolah itu perbuatan menggelikan, karena memang di luar konteks pemahaman agama mereka. Ini sungguh mengesalkan. Di mana letak toleransi.
Andai ada orang nyelonong masuk ke masjid, lalu dengan main-main berdiri di mimbar masjid saat bukan waktu shalat, atau menabuh bedug sesuka hati, apa ada yang tidak marah? Pastilah si penabuh bedug itu digampar dan dikuliahi sampai berbuih. Tapi bersikap toleran terhadap pemeluk agama liyan, sungguh sulit.
Ini baru soal sikap. Tentang nilai komersil, bisa saya gambarkan sebagai berikut. Seorang kawan berkabar ditawari wisata Borobudur, termasuk mengikuti prosesi Waisak dengan membayar Rp900.000. Kawan-kawan manca juga mengakui hal sama, 70 dolar tiket untuk menonton prosesi Waisak di Borobudur dari awal hingga akhir. Entah agen perjalanan mana yang mengadakan. Kawan-kawan fotografer dari media entahlah beramai-ramai mendaftar ke panitia, demi memperoleh tanda pengenal yang membebaskan mereka dari tiket masuk Borobudur. Dan beragam cara lainnya.
Komersialisasi juga sudah dinikmati masyarakat sekitar. Tahun kemarin saya terkaget-kaget karena hampir semua rumah penduduk di sekitar Mendut sudah disulap menjadi penginapan dadakan dengan tarif antara Rp50.00-Rp250.000 semalam. Tergantung mau tidur di kamar atau menyewa satu rumah penuh. Itu pun mau tidur di atas tikar, di atas ranjang, atau bergelung karpet. Ana rega ana rupa. Semakin mahal tarifnya semakin maknyus fasilitasnya. Hehehe..
Wah, ingatan saya jadi melayang di akhir 1990-an, saat mengikuti prosesi Waisak yang nyaris tanpa gangguan dengan kawan-kawan Buddhis Jepang. Kami masuk candi dengan tenang, setelah mengisi daftar berasal dari mana di depan Candi Mendut, lalu beramai-ramai ikut pawai. Nyaris tak ada fotografer ganas, semua tampak sopan dan meminta ijin dulu jika hendak memotret.
Tahun berikutnya kembali saya datang saat Waisak, berencana menginap di vihara depan Candi Mendut. Malam itu saya berbaur dengan para Buddhis dari penjuru nusantara, bahkan tidur di lantai paling bawah bangunan utama. Banyak pengetahuan yang saya dapatkan dari mereka. Mereka berasal dari Borneo, Lombok, Bali, bahkan Sulawesi dan Sumatra. Umumnya datang dengan kemauan sendiri, perorangan, dengan dana yang sengaja diada-adakan. Bahkan, ada yang sudah menabung 2-3 tahun demi dapat mengikuti prosesi Waisak di Borobudur. Bagi mereka, datang ke Borobudur mirip ziarah. Jadi, apa salahnya menghormati kawan-kawan peziarah ini dengan bersikap lebih santun, dengan menjaga kesakralan prosesi dan tak menjadikan mereka sebagai obyek semata?
Saya tahu bahwa Borobudur adalah obyek wisata yang mendunia, sama terkenalnya dengan Angkor Watt, atau Ayutthaya. Apalagi ketiganya sudah ditetapkan sebagai world heritage oleh UNESCO, yang berarti menambah nilai sebagai warisan budaya di mata dunia. Namun ada hal yang perlu dicermati dengan penetapan world heritage ini. Masuk tempat-tempat world heritage jadi tidak gratis, terkadang lumayan mahal. Orang asing yang masuk ke kompleks Angkor Watt dikenai bea 20 dolar per hari. Tapi ‘nyucuk’ kata orang Jawa, karena kompleks candinya amat sangat luas (tapi tiket masuk Borobudur yang akan dinaikkan menjadi Rp 200.000 dianggap turis asing keterlaluan, Borobudur kan cuma ‘secuplik’, nggak ada sepersepuluhnya dari Angkor Watt). Lebih istimewa lagi, di Angkor, warga lokal alias Kamboja bebas bea masuk. Tiket ini berlaku hanya buat orang asing. Demikian pula di Ayutthata.
Saya ingat beberapa waktu lalu orang Hindu Bali menolak anugerah ‘world heritage’ dari UNESCO bagi Pura Besakih. Alasannya, mereka tak ingin nantinya umat Hindu yang melakukan ritual di pura itu harus membayar. Cukuplah para wisatawan yang membayar, bukan orang lokal. Sungguh ini tindakan yang benar dan terpuji.
Di jaman ini komersialisasi di bidang agama memang tak dapat dielakkan. Para da’i di teve menerima jutaan rupiah sekali ngecap, da’i yang diundang ke ceramah-ceramah akbar pun mengalami hal sama. Jadi, tak ada yang salah jika Waisak jadi obyek wisata. Mungkin nanti perayaan natal di Gereja Jago, atau Shalat Ied di masjid besar juga dapat jadi obyek wisata. Permasalahnnya mungkin, di negeri mayoritas agama A, maka prosesi agama A itu sudah biasa, tak bakalan laku dijual karena milik mayoritas. Tapi prosesi agama B, yang hanya segelintir umatnya, sah-sah saja dikomersialisasi. Tak bakalan ada yang protes. Kalau protes pun, yang mencicit hanya satu dua mulut, tak ada artinya dibanding jutaan mulut. Tapi hendaknya dikomersilkan pun masih menghormati hak-hak umat beragama yang bersangkutan. Ah, ini hanya renungan.
Apapun itu, selamat merayakan Waisak bagi umat Buddha
2. Gue kasitau lagi nih ya, di negara kita ini, kalo mau terkenal, gampang. Lo gak perlu modal tampang, gak perlu sekolah tinggi-tinggi, tinggal bikin sensasi gak penting di media, dan biarkan media menjual itu secara cuma-cuma ke masyarakat. Coba pikir, kapan dan dimana terakhir kali lo liat berita anak muda Indonesia yang berhasil nemuin penemuan-penemuan yang awesome? Atau atlet muda yang berhasil ngeraih medali emas di luar negeri? Atau seniman yang go international dan bikin pameran sukses? Paling cuma lo dapet di koran dan berita online. Atau kalau beruntung, nongol di TV selama sekian menit dan kemudian... blash! Ilang gitu aja. Kalah kedengeran dibanding berita Arya Wiguna yang pacaran terus telfon-telfonan di depan wartawan. Kan keparat.
3. Di Indonesia, kalo lo mau ngelakuin hal-hal diluar kebiasaan lo, ada tiga kemungkinan: 1) Lo dipuji sama orang 2) Dicela-cela atau 3) Dianggep munafik. Menurut gua, yang dua terakhir itu tolol banget, men. Kalo gue pribadi, ngeliat orang lain melakukan hal yang gak biasa mereka lakuin, ya gue bodo amat lah, kecuali kalau itu memberatkan gue dan orang-orang di sekitar gue. Gue selalu mencoba buat gak rese dan bikin orang itu gak nyaman dengan komentar-komentar sampah yang mungkin orang lain bakal keluarin. Misalnya, orang kayak gue nih yang jarang solat di masjid sekolah, sekalinya solat disana pasti ada aja yang ngomong: "Duh tumben solat, gak kebakar?", "Kok lo bisa sih ke masjid?", "Ngapain ke masjid? Mau nyolong kotak amal?" Atau cuma berdecak sambil nepuk-nepuk pundak. Inget, gak semua orang bisa menerima. Kalo gue sih, cenderung bodo amat. Lo mau ngomong kayak gitu sampe mati juga gue gak peduli. Tapi ada juga tipe-tipe manusia yang moody atau sensitif, yang tanpa lo tahu, deep down, mungkin mereka gak suka diperlakukan kayak gitu. Coba deh, tutup mata aja sama semua hal yang orang lakuin, selama itu gak ngerugiin kita. Bisa kan?
4. Sistem pendidikannya busuk. Nuff said. UN 2013 gagal, SKS baru dimulai tahun depan, dan jujur aja, tugas dan PR yang sebenernya gak efektif. Saking banyaknya tugas yang numpuk, orang jadi gak bisa konsentrasi belajar. Tapi para guru beranggapan PR itu bisa jadi sarana belajar di rumah yang baik. Padahal pada prakteknya, PR nyalin lewat foto/scan orang itu udah biasa banget di SMA. Jadi, kapan kita punya waktu untuk menekuni hobi dan bersosialisasi sama dunia luar? Apa dengan formal education saja kita sudah bisa merasa cukup? Enggak. Banyak pelajaran yang gak bisa diajarkan di sekolah. Dan sesungguhnya, pelajaran seperti itulah yang paling kita butuhkan. Am I right?
5. Disini, orang yang merasa 'lebih' bakal gila hormat. Lebih apa aja? Semuanya. Lebih berduit, lebih tua, lebih dewasa, pokoknya kalo merasa lebih baik dari orang lain. Kalo merasa dicela orang, pasti orang-orang kayak gitu bakal ngungkit berapa uang yang mereka punya, dari garis keturunan siapa, bapak ibu mereka, juga rekor panjang pendidikan mereka. Ketawain rame-rame, yuk. Kayak ada yang bakal peduli aja. You are not what your parents are nor what your parents have, you are what you are. And if you can't defend yourself with anything you have, but you keep on being such lousy, please hang yourself. Thank you.
6. Sok idealis. Gue selalu menekankan diri gue buat jadi diri gue sendiri. Makanya gue dikenal ekstrovert, atau weirdos, atau pervert, atau hyper, atau bacot, atau mistis atau kelewat cuek. Gue gak ada masalah. Emang bener kok. Gue emang mengidap ADHD waktu kecil, makanya gue gak bisa berkonsentrasi diem di kursi lebih dari 5 menit. Pasti gue harus ngelakuin sesuatu, entah ngetuk-ngetukkin kaki atau ngomong. Dulu waktu kecil, gue pernah ngegambar semua dinding di rumah gue (catnya warna putih pucat) dan dalam waktu beberapa jam aja rumah gue udah penuh dengan gambar kuburan. Well, gue udah terapi kemana-mana dan ngilanginnya susah. Dan gue gak malu untuk menjadi seseorang weirdo. Being a weird girl makes me get so many opportunities inside and outside. Gue jadi orang yang aktif dalam kehidupan bermasyarakat juga. Buat kalian yang merasa pede pede aja sama dirinya sendiri, selamat ya.
7. Seni kurang dijunjung tinggi. Ini sih yang gue rasain betul. Gue pengen gitu, suatu saat di Indonesia ada (kalau bisa banyak) art school yang bener-bener diperhatiin sama pemerintah. Kesenian-kesenian daerah juga menurut gue perlu disesuaikan menurut perkembangan jaman. Supaya kaum mudanya tergerak buat melestarikan juga. Lha kalo yang menjalankan orang-orang tua doang, nanti kalo mereka udah gak ada, siapa yang bakal ngelanjutin?
8. Kurang terbuka. Emang sih, gue gak bisa menyalahkan siapa-siapa untuk case yang satu ini. Karena di Indonesia, orang-orang juga cenderung gak tanggap untuk membicarakan isi pikirannya ke orang lain dengan berbagai alasan. Padahal nih ya, padahal, kalau aja kita lebih terbuka sama orang, gue yakin orang akan berlaku hal yang sama ke kita. Dan sifat kayak gitu bisa nyebar ke orang lain. Sehingga gak ada tuh yang namanya main belakang, atau ghibah gak jelas.
UPDATE:
Beberapa jam setelah gw ngepost ini, banyak kenalan gw yang dapet SNMPTN Undangan. Well, gw cuma mau selamatin aja sih. Semoga sesuai ekspektasi. Buat yang gak dapet, PASTI masih banyak jalan lain yang bisa ditempuh buat masuk ke uni. Gw juga nih taun depan. Walaupun belom tau bakal kuliah dimana. Nyokap tetep keukeuh nyaranin buat nyari sekolah disini aja. Di Indo maksudnya. Padahal gw pengennya di luar. Pengen ngerombak suasana dan lingkungan dari nol. Sekaligus mau upgrade diri sendiri juga.
Bisa dibilang, gw masih labil dalam nentuin jurusan dan apa yang gw pengen capai right when I got older. Kebanyakan orang kalau ditanya: "What are you wanna be when you grow up?" pasti mayoritas bakal nyebutin profesi-profesi impiannya. Dokter, polisi, astronot, pilot, dll.
Gw cukup jawab: "I just want to be happy."
Sesederhana itu.